Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata
Oleh Seto Aji Nugroho (mahasiswa STIKOM)
17 agustus 1945,menjadi hari bersejarah untuk bangsa ini sebuah negara Republik baru berdiri di akhir perang dunia ke II, apa yang dicita-citakan oleh para pejuang kemerdekaan dari pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, Pangeran Antasari, Kapitan Pattimura dan masih banyak lagi nama-nama kusuma bangsa selama 3,5 abad plus sekawan tahun akhirnya berbuah proklamasi kemerdekaan. Kita tidak perlu merasa takut untuk kekurangan nama-nama pejuang negeri Indonesia karena memang bangsa ini dilahirkan untuk menjadi pejuang!
Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta memang patut disematkan sebagai Dwi Tunggal terhebat, sebagai martir, sebagai peluru, dan sebagai proklamator Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bung Karno dan Bung Hatta sapaan akrab Dwi Tunggal memenuhi ekspetasi para pejuang kemerdekaan untuk memerdekakan bangsa yang akhirnya disebut Indonesia.
Kerajaan Majapahit sebagai lambang supremasi kejayaan nusantara masa lalu yang menginspirasi para pejuang kemerdekaan untuk menjadi bangsa merdeka, berdaulat, tanpa harus didekte oleh bangsa asing, supaya nusantara Indonesia mempunyai harkat dan martabat di mata dunia, selebihnya memang penjajahan bukanlah bagian dari tata krama di dunia ini.
Kedua putra terbaik bangsa itu juga sekaligus menjadi penyambung lidah dan pelaksanaan kata-kata dari Maha Patih kerajaan Majapahit Gadjah Mada yang berjanji akan menyatukan nusantara, membebaskan dari belenggu kolonialisme kompeni dan ayam kate yang merasa bangga disebut sebagai bangsa penakluk pada era 45’an.
Memang pada tahun 1940-1945 merupakan era suram bagi wajah dunia ini, paham fasis, komunis, dan kolonialis seakan berlomba menjadi yang terkuat menancapkan kuku pengaruhnya kepada bangsa-bangsa yang belum merdeka alias daerah koloni. Bukan hanya itu saja ketiga paham tersebut saling jegal dalam upaya menjadi yang terkuat, hukum rimba berlaku bagi mereka yang haus oleh kekuasaan. Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda hanya bisa ‘melongo’ melihat adu jotos negara-negara penggagas paham masing-masing yang intinya sama ; “memperluas daerah kekuasaan”.
Mungkin istilah Vini, Vidi, Vici masih menjadi acuan negara-negara aggresor untuk meneruskan tingkah polah yang dianggap sebagai pembenaran atas kolonialisme, pada abad 21 lebih trend disebut liberalisme sebagai bentuk penjajahan baru atas ideologi, kebudayaan, serta politik. Pancasila menjadi tameng Republik Indonesia untuk melawan setiap ideologi kolonialisme, liberalisme, dan komunis. Laksanakan setiap “kata-kata” setiap pasal Pancasila sebagai dasar hidup masyarakat Indonesia.
Peran Indonesia setelah merdeka di percaturan internasional memang patut diacungi jempol, mengagas pendirian Gerakan Non-Blok, Konferensi Asia-Afrika, hingga pencetus berdirinya ASEAN. Tidak hanya itu Indonesia juga mengirim pasukan perdamaian di daerah konflik dibawah bendera PBB / United Nations. Sebab menjaga perdamaian dunia merupakan salah satu bunyi ayat di UUD 1945, wajar saja jika negeri ini dalam bergaul dilingkup luar negeri memiliki semboyan ‘bebas dan aktif’.
Sudah 70 tahun sejak Bung Karno memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia, banyak liku-liku menemani perjalanan bangsa ini, mulai dari masa Orde Lama, Orde Baru, hingga pasca Reformasi, sudah 7 kali berganti pemimpin. Presiden ke 7 kita bapak Joko Widodo tentu menanggung beban berat untuk melanjutkan tongkat estafet negeri. Apakah perjuangan sudah usai? Belum, tantangan di abad 21 sangat kompleks. Perjuangan melawan tikus koruptor, perjuangan melawan narkoba dan perjuangan untuk mencerdaskan bangsa belumlah usai. Bagaimana mau usai jika ada oknum penegak hukum yang seharusnya memancang tiang hukum agar tetap berdiri kokoh malah ikut-ikutan masuk kedalam got bergaul dengan tikus-tikus kotor, memang pantas hukum di Indonesia dijuluki sarang laba-laba, hanya mampu menangkap nyamuk dan lalat saja. Tajam ke bawah tumpul ke atas.
Untuk kasus narkoba yang seakan tiada habisnya, kebijakan presiden Joko Widodo memang patut diacungi jempol, hukuman mati bagi para pengedar narkoba memanglah tepat. Sebagai penegasan bahwa bangsa Indonesia tidak akan pernah kalah dalam memerangi narkoba, sekalipun yang di hukum kebanyakan warga negara asing yang sudah barang tentu negara asal mereka ‘berkoar-koar’ minta hukuman mati dihentikan. Protes paling sengit datang dari negeri Kangguru Australia pimpinan Bang Tony Abbot, seharusnya negara yang di klaim maju seperti Australia haruslah mempunyai pola pikir jernih dalam menyikapi hukuman mati bagi kedua warganya. Myuran Sukumaran dan Andrew Chan mengedarkan narkoba di Indonesia, sudah sewajarnya diadili dengan hukum yang berlaku di negeri ini. Dan jangan mengaitkan kesalahan melanggar hukum dengan menghukum mati gembong narkoba melanggar hak asasi manusia, itu tidak masuk akal. Masuk kandang kambing mengembik masuk kandang kuda meringkik, katakanlah itu pada Tony Abbot.
Harapan besar rakyat Indonesia pada saat satu abad Negara Kesatuan Republik Indonesia berulang tahun, negeri ini bisa menghilangkan “kembang-kembang” negara berkembang menjadi negara maju yang tak lupa akan jati diri bangsa yang memegang teguh sopan santun antar sesama umat, suku, agama, dan ras, sebagai ‘pelaksanaan kata-kata’ yang tertuang di Pancasila dan UUD 45.
Salam Lestari untuk bumi Indonesia, INDEPENDENCE !!!!
Comments
Post a Comment